Batu-batu itu melambung tinggi jauh ke angkasa, kemudian jatuh di antara gerombolan tentara penjajah. Tangan-tangan kecil yang saban hari menjadi tuan-tuan batu itu, kelihatan berurat dan basah berkeringat.
Setiap sore –bagi anak sekecil itu, sehabis pulang sekolah kemudian berkumpul bersama teman-teman mereka yang rerata berumur sembilan tahun, pergi ke daerah yang dikuasai gerombolan penjajah yang mereka sebut ‘perbatasan’ ataupun daerah dimana saja penjajah berada. Mereka, anak-anak zaman perlawanan ini, melontar batu. Semua hal ini mereka lakukan setiap hari, untuk membebaskan tanah yang dijanjikan Allah untuk dimenangkan: Palestina.
Pada beberapa kesempatan, para Ibu dari anak-anak kecil itu, dengan mesra menciumi kening anaknya dengan lembut sambil berharap kebaikan bagi para penerus para nabi ini: Palestina merdeka atau ciuman kening itu menjadi terakhir bagi mereka oleh sebab ciuman kening ini adalah ciuman ibu yang kan mengantar mereka ke surga.
Palestina. Negeri ini bukanlah negeri penuh mitos, seperti misalnya Jepang. Juga bukan tanah Makassar, yang darah para rakyatnya dialiri semangat badik, diterjang angin pantai dan dibasuh air laut. Jepang, yang dulunya konon merupakan pedang yang jatuh ke bumi akibat pertarungan para Kaisar, telah melalui zaman yang begitu ‘dramatikal’. Jepang sebelum tahun 1868 misalnya, pada waktu itu adalah sebuah negara agraris yang miskin. Negara-negara imperialis yang waktu itu berebut koloni di seluruh dunia pun tidak terlalu tertarik menguasainya. Negeri matahari terbit ini pun tidak dipandang punya potensi ekonomi yang signifikan.
“Setiap marhalah, ada rijalnya..”[2], seperti ini pulalah yang terjadi pada Jepang. Meskipun terpuruk selama beratus-ratus tahun, namun setelah satu peristiwa yang merombak besar struktur-struktur kapital di Jepang, kini, negeri para samurai ini adalah economic superpower kedua setelah Amerika dan salah satu negara dengan pendapatan per kapita terbesar di dunia. Para pekerja di Jepang dikenal sebagai paling cerdas, disiplin dan memiliki kemampuan untuk bekerja keras paling tinggi di dunia. Tentu saja, kita mengenal satu peristiwa fenomenal dan tragic yang berhasil membawa Jepang hingga seperti sekarang ini: Restorasi Meiji[3].
Mari kita bicara tema besar kali ini: pengorbanan. Mulailah kita hitung-hitungan politisnya.
Setelah Jepang dengan pengorbanan budaya aslinya yang hilang. Kita tahu, Aljazair dijajah oleh Prancis kira-kira selama 125 tahun, dengan mengorbankan tiga juta syuhada. Afghanistan dijajah Uni Soviet selama 12 tahun, dengan korban dua juta syuhada dan setelah itu masih menyisakan perang saudara, setelah itu, Amerika Serikat datang dengan tuduhan perang terhadap terorisme, terutama juga karena memburu Osama bin Laden dan Al-Qaeda-nya –yang sampai sekarang tidak terbukti secara akurat.
Ada apa dengan pengorbanan? Ada apa dengan ujian?
Tentu saja, sebagai orang yang telah dewasa, kita tahu, ujian dan pengorbanan yang besar dan panjang akan selalu berbanding lurus: hasilnya juga besar.
Inilah tanah para Nabi: Palestina. Apa yang terjadi padanya? Coba refleksikan dengan paragraf di atas. Palestina adalah medan juang abadi, tanahnya para Nabi, tanahnya para syuhada, kiblat pertama ummat Islam dan salah satu dari tiga kota suci yang ada di muka bumi. Dan sesuai dengan sabda Nabi, di akhir zaman nanti Al Quds akan dibebaskan dan juga akan terjadi peperangan besar antara Yahudi dan Muslim. Sampai-sampai di dalam sebuah hadits diceritakan betapa dahsyatnya perang itu, sehingga orang-orang yahudi akan bersembunyi di balik batu dan pohon, dan batu dan pohon itu akan berkata: “Hai Muslim, kemarilah, di belakangku ada orang Yahudi, bunuhlah ia..”[4]
Palestina akan menjadi sebuah negara besar.
Kemudian, sebagai orang Indonesia yang paham sejarah, kita, tentu tahu sejarah terbentuknya negara non-blok yang salah satu inisiatornya adalah Bung Karno. Ketika itu, Soekarno melihat masih banyak negara-negara di Asia dan Afrika bahkan seluruh dunia yang masih terjajah dan belum sepenuhnya merdeka. Kita tahu kemudian terjadi sebuah peristiwa yang kelak menyejarah: Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955.
Semua. Semua negara yang ikut dalam gerakan non-blok dan berpartisipasi penuh dalam konferensi itu, kita tahu, telah diberikan kenikmatan tertinggi berupa merdeka: hidup di atas tanah mereka sendiri, dan hidup atas takdir yang mereka ingin gariskan sendiri.
Tapi, tahulah kita, ada satu negara yang belum merdeka sejak sebelum konferensi itu dilaksanakan sampai sekarang: Palestina.
Oleh karena itu, adalah wajar ketika suatu kesempatan, Ust Anis Matta mengatakan bahwa: memerdekakan negara Palestina adalah amanat besar para founding father negari ini, seandainya Soekarno masih hidup sampai sekarang, saya yakin beliaulah yang berdiri paling depan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Subhanallah, Allahuakbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar